Pendekatan Teologis dalam Memahami Hadits
Spotlight
Pendekatan teologis adalah fondasi penting dalam memahami hadits Nabi ﷺ. Dengan mengenal Allah, memahami sifat-sifat-Nya, serta meyakini bahwa setiap hadits adalah petunjuk dari-Nya, maka seseorang dapat menafsirkan pesan hadits dengan lebih mendalam, tepat, dan berorientasi pada penguatan iman.
Oleh: Acep Subhan Abdillah
Wakil Mudir III
Email: Abumaryam085@gmail.com
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menunjukkan salah satu cara atau metodologi dalam memahami hadits an-Nabawi melalui pendekatan teologis. Kajian ini memudahkan dalam memahami hadits-hadits yang berkaitan dengan ketuhanan, karena mengenal langsung pemberi wahyu (Allah) yang menjadi sumber hukum bagi kehidupan manusia pada umumnya, dan umat Islam pada khususnya.
Kata kunci: metodologi pemahaman, teologis, hadits an-Nabawi.
A. Pendahuluan
Agama merupakan pedoman hidup manusia yang mengatur batasan antara halal dan haram, boleh dan tidak boleh. Esensi agama terletak pada sampainya wahyu Allah sebagai petunjuk bagi manusia dalam segala aspek kehidupannya.
Islam adalah agama yang menekankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, mengikuti perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Setiap nabi dan rasul yang diutus telah menerima wahyu sebagai panduan agar manusia tetap berada di jalan yang benar. Demikian pula Nabi Muhammad ﷺ sebagai penerima wahyu terakhir yang menyampaikan pesan Allah kepada seluruh umat manusia.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, telah Kucukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Kuridai Islam sebagai agamamu.”
(QS. Al-Maidah: 3)
Kesempurnaan Islam tercermin dalam dua sumber utamanya: Al-Qur’an dan hadits. Keduanya menjadi pedoman dalam menetapkan prinsip dasar dan petunjuk menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun, memahami wahyu tidaklah mudah. Diperlukan metodologi khusus, terutama dalam memahami hadits-hadits Nabi ﷺ agar maknanya tidak disalahartikan. Salah satu pendekatan penting adalah pendekatan teologis, yakni memahami hadits dengan dasar keimanan dan pengenalan terhadap Allah sebagai sumber wahyu.
B. Pendekatan Teologis
Teologi (ilmu ketuhanan) adalah dasar utama dalam beragama. Melalui teologi, seseorang menanamkan keyakinan tentang keesaan Allah, sifat-sifat-Nya, serta hukum-hukum yang ditetapkan-Nya melalui wahyu. Allah berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Aku, maka sembahlah Aku.”
(QS. Al-Anbiya: 25)
Pendekatan teologis tidak hanya menanamkan tauhid, tetapi juga meyakini bahwa Islam adalah agama yang benar dan harus ditampakkan melalui syiar dan akhlak islami. Nabi Muhammad ﷺ dijadikan teladan utama dalam segala aspek kehidupan — baik hubungan dengan Allah (hablum minallah), sesama manusia (hablum minannas), maupun dengan alam sekitar (hablum minal ‘alam).
Sejarah menunjukkan bahwa pemikiran teologis umat Islam berkembang dari masa ke masa:
Zaman klasik (650–1250 M): muncul aliran Qadariyah, yang menekankan kebebasan kehendak manusia.
Zaman pertengahan (1250–1800 M): berkembang aliran Jabariyah, yang menekankan kehendak mutlak Tuhan.
Zaman modern (1800–sekarang): muncul upaya mengembalikan keseimbangan antara akal dan wahyu, antara kehendak manusia dan kehendak Allah.
Perbedaan pemikiran ini menunjukkan bahwa kajian teologis sangat dinamis dan sensitif, karena menyangkut keyakinan yang paling mendasar dalam diri manusia.
C. Pemahaman Hadits dengan Pendekatan Teologis
Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Secara etimologi, kata “nabi” berasal dari an-naba’ (النبأ) yang berarti “kabar”. Nabi adalah orang yang menerima kabar dari Allah dan menyampaikannya kembali kepada umat.
Pendekatan teologis dalam memahami hadits berarti menelaah pesan-pesan Nabi ﷺ dengan kesadaran penuh bahwa setiap sabdanya adalah bagian dari wahyu Allah. Dengan mengenal Allah — sifat, kehendak, dan kebijaksanaan-Nya — maka kita dapat memahami makna hadits secara lebih mendalam dan kontekstual.
Allah berfirman:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.”
(QS. Al-Maidah: 49)
Ayat ini menegaskan bahwa hukum dan keputusan hidup seorang muslim haruslah bersumber dari wahyu Allah, baik dalam Al-Qur’an maupun hadits Nabi ﷺ.
D. Hadits tentang Teologis
Dari Anas bin Malik r.a., beliau berkata:
“Rasulullah ﷺ ditanya tentang dosa-dosa besar. Beliau menjawab: menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh, dan bersumpah palsu.”
(HR. Bukhari)
Hadits ini menggambarkan esensi keimanan kepada Allah, ketaatan kepada orang tua, serta menjaga diri dari kedzaliman dan kebohongan.
1. Syirik (Menyekutukan Allah)
Syirik adalah dosa yang tidak diampuni jika pelakunya tidak bertobat. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.”
(QS. An-Nisa: 48)
Syirik bisa berbentuk meminta pertolongan kepada selain Allah, meyakini adanya kekuatan selain Allah, atau menjadikan sesuatu sebagai perantara ibadah kepada Allah. Semua ini menodai kemurnian tauhid.
2. Durhaka kepada Orang Tua
Berbakti kepada kedua orang tua adalah kewajiban besar. Allah memerintahkan agar seorang anak berkata dengan lembut, bersikap tawadhu, dan tidak membentak mereka. Ridha Allah bergantung pada ridha kedua orang tua.
3. Larangan Membunuh
Islam menegaskan bahwa membunuh tanpa hak adalah dosa besar. Setiap jiwa memiliki hak untuk hidup, dan seorang muslim tidak boleh menzalimi saudaranya sendiri.
4. Larangan Bersumpah Palsu
Bersumpah palsu termasuk tanda orang munafik. Seorang mukmin sejati harus menjaga kejujuran dan integritas dalam ucapan dan tindakan.
E. Kesimpulan
Pendekatan teologis adalah fondasi penting dalam memahami hadits Nabi ﷺ. Dengan mengenal Allah, memahami sifat-sifat-Nya, serta meyakini bahwa setiap hadits adalah petunjuk dari-Nya, maka seseorang dapat menafsirkan pesan hadits dengan lebih mendalam, tepat, dan berorientasi pada penguatan iman.
Kajian teologis bukan sekadar studi akademik, tetapi juga perjalanan spiritual menuju pengenalan yang lebih dekat kepada Allah dan pemahaman yang benar terhadap ajaran Rasulullah ﷺ.
Sumber Rujukan:
Atjeh (1966), Aiziz (1999), Harun Nasution (1990), Asmuni (1996), Arief (2005), Syahrullah (2016), al-Qathan (1411 H), al-Hadyan (1435 H), Musthafa Dieb al-Bugha (2012), dll.
					
											
											
											
Komentar